ppid@dkpp.go.id 1500101

ALFITRA SALAMM SEBUT AD HOC TULANG PUNGGUNG

Jakarta, DKPP – Anggota Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) RI, Dr. Alfitra Salamm, mengungkapkan penyelenggara pemilu di tingkat ad hoc merupakan tulang punggung dan peran paling besar dalam pelaksanaan pemilu.

Namun, potensi pelanggaran pemilu baik itu pidana maupun etik paling besar berada di tingkat ad hoc. Oleh karena itu, perbaikan rekrutmen penyelenggara pemilu di tingkat ad hoc secara menyeluruh harus menjadi prioritas KPU maupun Bawaslu.

Hal tersebut disampaikan Alfitra Salamm dalam Diskusi Kelompok Terfokus Penyusunan Kajian Rekomendasi Kebijakan Pembentukan Badan Ad Hoc Dalam Negeri untuk Pemilu Tahun 2024 di Jakarta, Kamis (4/8/2022).

“Ad hoc ini seperti hutan belantara, di sana ada harimaunya, hantunya ada, jurangnya ada. Maka dari itu kalau kita mau memperbaiki pemilu, harus dimulai dari ad hoc. Potensi pelanggaran pidana dan etik paling besar ada di ad hoc,” ungkap Alfitra Salamm.

Potensi pelanggaran penyelenggara pemilu di tingkat ad hoc antara lain jual beli suara, perubahan perolehan suara, perpindahan suara dan lainnya. Namun kondisinya saat ini sangat mengkhawatirkan, Alfitra menyebut ad hoc diperlakukan seperti anak tiri.

“Ad hoc ini seperti anak tiri, padahal kerjanya banyak, full time, paling pontang-panting, tanpa henti, sehingga banyak yang meninggal di pemilu 2019. Selagi ad hoc ini tidak ada perhatian khusus, persoalan di Pemilu 2019 akan terjadi lagi 2024,” sambungnya.

Perbaikan di tingkat ad hoc oleh KPU maupun Bawaslu selama ini, lanjut Alfitra, hanya sebatas administrasi. Ke depan, perbaikan penyelenggara ad hoc harus menyentuh aspek subtantif yang paling mendasar.

“Kita bisa bayangkan selama ini ad hoc itu penyelenggara tetapi rasa petugas, pegawai kontrak, kerja sambilan atau musiman padahal the true election ada di ad hoc. Mentalitas inilah yang harus diubah ke depan untuk pemilu 2024,” tegasnya.

Dalam kesempatan ini, Alfitra juga menyoroti penanganan pelanggaran kode etik di tingkat ad hoc yang dilakukan oleh KPU dan Bawaslu. DKPP tidak pernah menerima laporan hasil penanganan dugaan pelanggaran kode etik di tingkat ad hoc.

“Sangat disayangkan sekali penanganan pelanggaran kode etik di tingkat ad hoc tidak bisa di-tracking, menjadi grey area. Bagaimana mau memperbaiki kalau tidak ada datanya sama sekali,” pungkasnya.

Sebagai informasi, kegiatan Diskusi Kelompok Terfokus ini juga dihadiri oleh Anggota Bawaslu RI, Herwyn J. Malonda sebagai narasumber. (Humas DKPP)