Jakarta, DKPP – Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof. Muhammad berpesan agar para pengadu wajib bisa membedakan antara pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu atau tindak pidana.
Hal ini disampaikannya saat menjadi narasumber kegiatan Rapat Penyusunan Konsep Penanganan Tindak Pidana Pemilu dan Kode Etik pada Pemilu serentak Tahun 2024 yang diadakan oleh Bawaslu di Jakarta, Jumat (14/1/2022).
“Jadi kalau urusannya mengidentifikasi masuk etik atau tidak seharusnya sudah selesai di juz satu, kalau bukan etik ya jangan diteruskan,” kata Muhammad.
Ia mencontohkan, sebuah tindakan kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) bukanlah ranah kode etik, melainkan masuk ke ranah pidana.
Sehingga, menurutnya, Bawaslu harus langsung bereaksi dengan menegakkan aturan terkait pembinaan, jika ada jajarannya yang melakukan KDRT tanpa harus mengadukan ke DKPP.
“Memang wilayahnya Bawaslu dan KPU. Anda memang nakal kok, anda melanggar kok, tidak perlu DKPP,” tegas Ketua Bawaslu periode 2012-2017 ini.
Muhammad pun memberi contoh pelanggaran kode etik penyelenggara sebagai perbandingan, yaitu jika ada Ketua Bawaslu di suatu daerah yang diduga minum teh bersama dengan ketua partai politik tertentu di luar kantor saat tahapan pemilu sudah berjalan.
“Nah itu jelas dugaan pelanggaran etiknya,” kata dia.
Selain itu, Muhammad juga menjelaskan tentang putusan DKPP dan jenis-jenis sanksi yang diberikan jika terbukti melanggar kode etik, yaitu teguran tertulis, pemberhentian sementara, dan pemberhentian tetap.
“Sifat putusannya pun final dan mengikat,” tegas Guru Besar Ilmu Politik Universitas Hasanuddin ini.
Dalam kegiatan ini, hadir juga Anggota Bawaslu Ratna Dewi Petalolo, Kepala Biro Fasilitasi Penanganan Pelanggaran, Yusti Erlina serta Anggota Gakkumdu unsur Kejaksaan Heru dan Kepolisian Kompol Nursaid. [Humas DKPP]