ppid@dkpp.go.id 1500101

KESADARAN UNTUK PATUH PADA ATURAN ADALAH REMOTE CONTROL BAGI PENYELENGGARA

Makassar, DKPP – Penyelenggaraan Pilkada serentak pada 9 Desember mendatang telah menjadi diskusi di ruang publik. Ada yang optimis “we must go on” yakni para penyelenggara pemilu tingkat pusat dan pemerintah, namun ada juga yang pesimis. Hal ini diungkapkan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Prof. Muhammad saat menjadi pemateri dalam Seminar Nasionalyang diselengarakan oleh AIPI Makassar dengan tema “Mewujudkan Pilkada Serentak 2020 Yang Berkualitas Dan Berintegritas Menuju Adaptasi Kebiasaan Baru”, di Makassar, 15/9/2020.

“Tetapi, sepanjang pemerintah, penyelenggara di tingkat pusat, dan DPR tetap mengatakan 9 Desember sebagai opsi optimis, maka tidak ada pilihan. Kita harus mengamankan 9 Desember sebagai opsi optimis, tentu dengan standar dan kriteria yang sangat ketat sebagaimana telah disampaikan oleh gugus tugas  selama ini,” Muhammad mengawali paparannya.

Menurut dia, jelang pilkada di tengah pandemi ini paling tidak ada dua perspektif yang penting untuk dicermati bersama. Pertama tidak ada alasan bagi KPU dan Bawaslu dan terutama penyelenggara di daerah untuk tidak tegak lurus dengan aturan.

“Gunakan semua regulasi yang ada, undang-undang nomor 7, peraturan KPU, peraturan Bawaslu, dan peraturan kode etik serta peraturan pemerintah sebagai acuan utama kita,” kata Muhammad.

Lanjutnya, tidak ada alasan untuk tidak menggunakan regulasi ini secara tegak lurus.  Jajaran penyelenggara pemilu di tingkat bawah jangan coba-coba menafsirkan atas apa yang sudah diatur oleh KPU dan Bawaslu, karena itu adalah tugas mereka untuk menyusun regulasi.

“Penyelenggara di tingkat bawahnya hanya menjalankan. Jangan coba-coba membuat tafsir. Ini penting paling tidak untuk mengkonsolidasi pemahaman kita secara internal dan memberikan pesan kepada di luar penyelenggara bahwa aturan kita ini tegas dan jelas. Ini yang pertama dari perspektif hukum,” katanya.

Data di DKPP mengkonfirmasi penyelenggara pemilu yang diadukan adalah mereka tidak bisa menegakkan aturan secara ‘Kaffah’ (sempurna-red). “Aturannya sudah jelas bicara tentang ‘a’ ikuti saja jangan bikin a-minus atau a-plus, ikuti saja insya allah kita selamat,” lanjutnya lagi.

Yang kedua adalah perspektif etika. Menurut Muhammad,  mengelola pilkada dengan penuh tantangan ini tidak cukup hanya mengandalkan pemahaman tentang regulasi.  Semua penyelenggara harus membekali diri dengan cara memahami dan menerapkan peraturan serta berpedoman pada prinsip-prinsip etika dan kode perilaku.

“Terkait etika ini, sering saya mencontohkan seperti kita tidak melanggar lampu lalu lintas, sekalipun itu jam dua dini hari. Hal ini disebabkan bukan karena takut kepada polisi. Mungkin polisi jam dua dini hari sudah tidak ada, tetapi kesadaran untuk taat kepada aturan,” Muhammad mengibaratkan.

Dalam perspektif pemilu, jika KPU-Bawaslu menggunakan hal ini sebagai remote control, menjalankan tupoksinya, tugas, kewenangannya dalam perspektif kebutuhan untuk netral, adil, mandiri, profesional sesuai 12 asas prinsip penyelenggara pemilu, maka DKPP tidak dibutuhkan lagi.

“Karena penyelenggara pemilu baik KPU dan Bawaslu bekerja atas remote control yang sudah terpatri, bahwa saya butuh untuk netral, saya butuh untuk mandiri, saya butuh untuk independen. Bukan saya takut kepada DKPP. Inilah perspektif etika,” tegasnya.

Prof. Muhammad mengingatkan ketika kebutuhan untuk berlaku netral, berlaku adil, dan sebagainya telah mengkristal pada diri masing-masing di manapun kita mengabdi dan bertugas, maka adalah suatu keniscayaan bahwa DKPP tidak dibutuhkan lagi. [Humas DKPP]